Achmad Siddik
Kompasioner
Fahri Hamzah (FH), politikus muda dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
ini menjadi “bintang” hampir di semua kanal media. Kesibukan FH
bertambah padat dengan wawancara live dengan berbagai stasiun TV Swasta
setelah kasus penyitaan beberapa mobil di kantor DPP PKS sejak senin
malam (6/5/2013).
Rasanya hampir tiap hari di televisi yang berbeda FH rutin muncul dengan
tema yang mirip dengan judul yang beragam. Ada tagline “KPK vs PKS”,
ada “PKS Melawan” dan tagline lainnya. Intinya, setiap pemberitaan
terkait penyitaan atau upaya KPK menyita mobil yang diduga hasil Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari tersangka suap impor daging Luthfi
Hasan Ishaq (LHI), FH lah yang tampil mewakili PKS.
Awalnya pertarungan sengit terjadi antara Johan Budi (JB) dan FH terkait
gagalnya upaya penyitaan mobil di kantor DPP PKS oleh tim KPK. Metro TV
dan TVone dengan cepat mengangkat isu ini dan mempertemukan dua
narasumber utama yaitu FH dari PKS dan JB dari KPK. Di Metro TV FH
berani menyerang dengan istilah “JB Berbohong”. Ungkapan ini diungkapkan
berkali-kali oleh FH karena dia merasa yakin bahwa KPK tidak surat
penyitaan dan PKS memiliki saksi yang banyak. Sebaliknya JB memberi
membalas pernyataan FH dengan nada yang kurang meyakinkan sehingga FH
terkesan mendominasi debat ini. Belakangan ini talkshow terkait PKS dan
KPK tetap menghadirkan FH namun JB tidak muncul.
Tak tanggung-tanggung FH yang berasal dari Nusa Tenggara barat ini, tak
segan “nge-mop” host acara saat pertanyaan yang diajukan sudah melenceng
dari tema. FH tak mau disetir oleh opini dari host atau media yang
mengundangnya wawancara atau debat. Ia sudah menyiapkan serangan balik
agar tidak terjebak arus pertanyaan yang terkadang diluar konteks tema
yang ditawarkan dan disepakati dari awal. Memang wawancara dengan FH
perlu bahasa yang tepat bagi presenter agar tidak membuat “malu” sendiri
Gaya politisi mantan ketua KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia) di awal reformasi yang meledak-ledak bak dinamit ini, tidak
hanya saya saksikan pada kasus KPK dengan PKS seminggu terkahir ini.
Daam setiap momen debat ataupun dengar pendapat, FH memiliki karakter
khas dengan nada dan kalimat yang menggelegar yang ditangkap sebagian
orang sebagai ungkapan emosional atau bahkan marah dan tidak santun.
Bahkan saya menyaksikan pertarungan debat yang bisa mengalahkan debat
KPK dan PKS belakangan ini jauh hari sebelumnya. Saat itu saya menonton
tayangan debat di Metro TV yang membahas ancaman partai koalisi yang
mengancam PKS agar keluar dari secretariat gabungan (Gabungan). Di acara
itu FH berhadapan dengan politisi yang juga “keras” dari Partai Golkar
yaitu Idrus Marham. Bagi yang mengenal Idrus Marham, tentu saja tak
menyangkal bahwa dia juga punya tipikal yang tidak jauh berbeda dengan
FH saat berbicara. Apa yang terjadi? Pembawa cara saat itu (saya lupa
namanya) tak bisa mengendalikan dua pendebat sengit ini dan wajah Idrus
Maham merah padam menghadapi serangan balik dari FH.
Fenomena FH di PKS sekilas merupakan anomali dari karakter umum politisi
PKS yang umumnya kata-katanya terpilih dan intonasinya yang lemah
lembut. Sebut saja Hidayat Nur Wahid, Mahfudz Sidiq dan Mardani Ali
Sera. Mereka biasanya muncul mewaklili PKS dalam isu-isu politik di
media. Juga ada Anis Matta, yang meskipun berasal dari Sulawesi Selatan,
namun kata-kata yang keluar jarang bernada menyerang dan terkesan
“puitis”. Dan FH dengan gayanya yang khas seolah menjadi “senjata”
tersendiri yang tidak disadari oleh banyak orang. Mungkin PKS juga
menyimpan banyak politisi dan kader-kader yang keras dan meledak-ledak
seperti FH untuk dihadapkan dengan pihak-pihak yang merugikan eksistensi
partai berlambang bulan sabit dan padi emas ini.
Yang jelas, FH dengan ledakan-ledakan ungkapan dan suaranya telah
membuat PKS semakin “meledak” menjadi sumber berita. Fakta yang relevan,
sampai-sampai wartawan harus memakai tenda untuk “hunting” berita
terkait PKS. Berikut kutipan berita bagaimana PKS menjamu “tamu” yang
tak lelah memburunyabelakangan ini.
“Di bawah tenda warna putih dihiasi ornamen emas khas PKS ini disediakan
kursi untuk para peliput berita. Sekitar 20-an wartawan duduk-duduk
menunggu rapat di DPP PKS. Di dalam tenda disediakan minuman dan makanan
alakadarnya. (Baca detik.com : Kantor DPP Ditutp PKS Buat Tenda
Wartawan di Jl. TB Simatupang)
Memang kantor DPP PKS sedang menjadi pusat liputan setelah KPK menyegel 6
mobil milik eks Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Di DPP PKS sendiri
tengah digelar rapat Majelis Syuro yang menurut informasi dari sejumlah
pengurus masih lama selesainya.”
Wah, sampai segitunya media “memburu” PKS. Apakah FH Hamzah telah
berhasil meledakkan opini di media sehingga tak henti-hentinya PKS
menjadi sumber berita? Apakah melalui “dinamit” FH PKS kembali menguasai
opini pemberitaan? Saya tidak mau memyimpulkan, tapi Anda bisa melihat
tren topik perbincangan di media sosial terkait isu poltik di
politicawave seperti gambar dibawah ini :
Share of Awareness dan Share of Citizen, PKS masih dominan (politicawave.com 12/5/2013)
Fenomena “penguasaan” PKS di media sosial kembali terulang seperti pasca penangkapan LHI dan Gerilya Anis Matta dengan orasi-orasinya yang membakar. (Baca “Pertarungan di Media Sosial, PKS Pemenangnya?“). PKS setidaknya punya Anis Matta yang tidak bisa dipungkuri mampu membakar semangat kader-kadernya hingga lepas dari sulit pasca penangkapan LHI. Anis Matta Effect juga diyaakini memberi kontribusi bagi kemenangan du acalon PKS dalam Pilgub di Jawa barat dan Sumatera Utara. (Baca juga : “Anis Matta Effect Mengalahkan Jokowi Effect?”)
Akankah FH dengan ledakan-ledakannya mampu menjadi dinamit seperti
julukan Tim Sepakbola Denmark di Piala Eropa tahun 1992. Apakah ledakan
FH mampu melambungkan PKS elektabilitas PKS atau sebaliknya mengubur
harapan partainya meraih 3 besar di Pemilu 2014? Kita tunggu kelanjutan
kiprah FH dan PKS di pusaran perpolitikan Indonesia. ***
Sumber : http://www.pkspiyungan.org
0 comments:
Posting Komentar