Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al-Khattab , dia berkata: “Saya
mendengar Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya setiap perbuatan
tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas)
berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin
mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia
yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”. (HR. Bukhari, Jami’ush Shahih, no. 45, 163; Muslim, Jami’ush Shahih, no. 1907)
Semuanya melalui jalur sahabat nabi yang
sama yakni Umar bin Al-Khathab . Beliau menggunakan kata sami’tu (Aku
mendengar) yang menunjukkan bahwa Beliau mendengar hadits ini secara
langsung dari Rasulullah tanpa perantara.
A. Penjelasan makna kata per kata hadits
1. عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه قال
“Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Al-Khathab , dia berkata:”
Amirul Mu’minin artinya pemimpin
orang-orang beriman, yakni orang yang mengurus berbagai urusan (al-umur)
kaum beriman yang berada dalam jangkauan wilayah kekuasaannya. Umar bin
Al-Khathab adalah orang pertama yang dipanggil dengan sebutan gelar
ini. Orang pertama yang memanggilnya dengan sebutan ini adalah Abdullah
bin Jahsy, dan menurut riwayat lainnya adalah Amr bin Al-’Ash dan
Mughirah bin Syu’bah. Sejak itu panggilan Amirul Mu’minin menjadi
panggilan baku bagi khalifah (pemimpin) selanjutnya.
Abu Hafsh
Umar bin Al-Khathab adalah (sebagaimana keterangan Imam As-Suyuthi dalam
Tarikhul Khulafa’), Beliau adalah Umar bin Al-Khathab bin Nufail bin
Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu’ai.
Dialah Amirul Mu’minin, Abu Hafsh Al-Qursyi Al ‘Adawi Al-Faruq.
Beliu Umar bin Al-Khattab masuk Islam
tahun ke-6 masa kenabian. Saat usianya 27 tahun sebagaimana kata Imam
Adz-Dzahabi. Imam An-Nawawi mengatakan Umar bin Al-Khathab dilahirkan 13
tahun setelah peristiwa gajah (tahun gajah). Dia berasal dari suku
Quraisy yang paling mulia. Beliau termasuk generasi awal masuk Islam
setelah 40 laki-laki dan 11 wanita. Ada juga yang mengatakan setelah 39
laki-laki dan 23 wanita, dan ada juga yang mengatakan setelah 45
laki-laki dan 11 wanita. Setelah keislaman Umar , kaum muslimin di
Mekkah senantiasa berjaya dan mereka amat berbahagia dengan
keislamannya.
Dia adalah salah seorang sahabat Nabi
yang paling utama, salah seorang yang dikabarkan dijamin masuk surga,
dan salah seorang khalifatur rasyidin. Beliau meriwayatkan hadits dari
nabi sebanyak 539 buah. (Imam As Suyuthi, Tarikhul Khulafa’, Hal. 89)
2. سمعت رسول الله صلى الله تعالى عليه وعلى آله وسلم يقول
“Aku mendengar Rasulullah bersabda”
Ucapan ‘Umar , Sami’tu (aku mendengar)
menunjukkan bahwa hadits ini didengarnya secara langsung dari Rasulullah
tanpa perantara orang lain. Hal ini ditegaskan oleh Al-’Allamah
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin -rahimahullah-, “Ucapannya ‘Aku
Mendengar’ merupakan dalil bahwa ‘Umar mengambil hadits ini dari
Rasulullah dengan tanpa perantara. Mengagumkannya adalah bahwa hadits
sepenting ini tidak ada sahabat yang meriwayatkannya dari Rasulullah
kecuali ‘Umar . Tetapi hadits ini memiliki syawahid (banyak
saksi/penguat) dalam Al-Quran dan As-Sunnah”. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Arba’in An Nawawiyah Hal. 3)
3. إنّما الأعمال بالنيات
“Sesungguhnya amal itu hanyalah beserta niat”
Kata innama adalah –sebagaimana kata
para ulama muhaqqiq (peneliti)- Lil-Hashr للحصرyakni sebagai pembatas.
Sehingga bermakna ‘Sesungguhnya hanyalah’. Sebagai itsbat (penetapan)
hukum dari hal yang disebutkan setelahnya.
Dengan kata lain tidak ada amal kecuali
dengan niat. Jika dikatakan: Zaidun Qaaimun (Zaid sedang berdiri). Maka
ini tidak ada pembatasan, bisa saja Zaid berdiri sambil makan,
bersandar, atau aktiftas lainnya. Tetapi jika dikatakan Innama Zaidun
Qaaimun (Sesungguhnya Zaid hanyalah sedang berdiri), maka ini sudah ada
pembatasan bahwa aktifitas zaid hanya berdiri, tidak yang lainnya.
Al-A’mal adalah jamak (plural) dari
‘amal (perbuatan), sebagai kelanjutan dan ikrar dari niat. Al-A’mal
mencakup berbagai bentuk perbuatan, baik perbutan hati, lisan, dan
jawarih (anggota badan). Amal hati adalah seperti tawakkal kepada Allah,
kembali, bersandar, berharap dan takut kepada-Nya. Amal lisan seperti
berbicara dan makan. Amal jawarih seperti perbuatan tangan, khaki,
indra dan yang semisalnya.
Imam Ibnu Daqiq Al-’Id mengatakan, “Yang
dimaksud Al a’mal adalah amal-amal syar’i. Artinya amal perbuatan
tersebut tidaklah cukup dengan tanpa niat, seperti wudhu, mandi junub,
tayammum, demikian juga shalat, zakat, puasa, haji, i’tikaf, dan semua
ibadah. Sedangkan menghilangkan najis tidaklah membutuhkan niat, karena
itu merupakan pembahasan at-tarku (meninggalkan perbuatan), dan
meninggalkan perbuatan tidaklah membutuhkan niat. Segolongan manusia
berpendapat sahnya wudhu dan mandi junub walau tanpa niat.”
An-Niyyat (dengan huruf Ya’
ditasydidkan) adalah jamak dari niyyah yang bermakna ‘azmul qalbi (tekad
di hati). Di juga bermakna Al-Qashdu (maksud). Secara syariat menurut
Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin niat bermakna,
العزم على فعل العبادة تقرّباً إلى الله تعالى، ومحلها القلب، فهي عمل قلبي ولاتعلق للجوارح بها
Tekad (keinginan kuat) untuk
melaksanakan ibadah demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’la letaknya di
hati, dan dia termasuk amal hati yang tidak tergantung dengan perbuatan
anggota badan. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An
Nawawiyah hal. 4-5)
Maka, amal perbuatan dikatakan SAH
sebagai perbuatan, jika dibarengi niat untuk melaksanakannya. Tanpa
niat, itu dinamakan ketidaksengajaan, rekayasa atau sandiwara. Walau
secara lahiriyah juga nampak adanya perbuatan tersebut.
Tidak dinamakan shalat orang yang
melakukannya tanpa niat, walau lahiriyahnya menampakkan dia sedang
shalat. Tidak dinamakan masuk Islam bagi orang kafir yang mengucapkan
dua kalimat syahadat, jika melaksanakannya tanpa niat untuk itu,
melainkan sekedar tuntutan skenario di film.
4. وإنما لكل امرئ ما نوى
“dan setiap manusia mendapatkan apa-apa sesuai yang diniatkannya.”
Maksudnya, hasil akhir yang didapatkan
seseorang dari perbuatannya tergantung dari niat apa dibalik
perbuatannya itu, dia tidak akan mendapatkan selain yang diniatkannya.
Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa
yang datang ke masjid untuk shalat, atau untuk menghadiri shalat
berjamaah, atau mencari pahala dengan berdzikir dan membaca Al Quran,
maka dengan ini dia akan mendapatkan sesuai apa yang diinginkannya. Ada
pun yang masuk ke masjid untuk melakukan amal yang tidak ada kaitan
dengan perkara agama dan ketaatan, maka dia mendapatkan sesuai apa yang
diinginkannya itu, dan tidak mendapatkan pahala.” (Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, Syarh Sunan Abi Daud, no. 066)
5. فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله
“Maka, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan Rasul-Nya”
Kalimat ‘faman’ (Maka barang siapa),
secara khusus yang dimaksud dalam hadits ini adalah seorang laki-laki
yang berhijrah dari Mekkah ke Madinah bukan karena mencari keutamaan
hijrah, tetapi karena mengincar seorang wanita yang ingin dinikahinya.
Berkata Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, “Mereka meriwayatkan bahwa ada seorang
laki-laki yang berhijrah dari Mekkah menuju Madinah, dengan hijrahnya
itu dia tidak menghendaki keutamaan hijrah. Dia hanya menghendaki agar
dapat menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais.” (Imam Ibnu Daqiq
Al ‘Id, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah)
Sehingga di dalam sejarah, laki-laki tersebut dikenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais.
Walaupun sababul wurud hadits ini karena
laki-laki tersebut, namun nilai dan hukum yang terkandung di dalamnya
juga berlaku bagi manusia lain secara umum. Hal ini sesuai kaidah:
Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi laa bi khushush as sabab (Pelajaran
bukanlah diambil dari sebabnya yang spesifik/khusus, tetapi dari makna
lafadznya secara umum).
Kalimat ‘Kanat hijratuhu’ (yang
hijrahnya), yakni hijrah dari Mekkah ke Madinah setelah tiga belas tahun
da’wah di Mekkah mengalami penindasan. Dahulu Madinah dinamakan
Yatsrib, dan hijrah tersebut adalah yang kedua, setelah hijrah pertama
ke Habasyah (Etiopia). Peristiwa ini menjadi titik tolak awal
penanggalan tahun Hijriyah. Perintah hijrah ini langsung datangnya dari
Allah Ta’ala, bahkan orang yang tidak mau ikut hijrah padahal mereka
sanggup, oleh Allah Ta’ala menyebutnya sebagai orang yang menganiaya
dirinya sendiri.
Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam Keadaan bagaimana
kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah Kami orang-orang yang tertindas di
negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya
neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa (4): 97)
Yang dimaksud dengan orang yang
menganiaya diri sendiri di sini, ialah orang-orang muslimin Mekah yang
tidak mau hijrah bersama Nabi sedangkan mereka sanggup. Mereka ditindas
dan dipaksa oleh orang-orang kafir ikut bersama mereka pergi ke perang
Badar, akhirnya di antara mereka ada yang terbunuh dalam peperangan itu.
Imam Adh-Dhahak mengatakan mereka adalah orang-orang munafiq yang
memang berselisih dengan Rasulullah , justru mereka ikut bersama kaum
musyrikin ketika perang Badar. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al
‘Azhim, 2/389)
Rasulullah pun mencela mereka, dari Samurah bin Jundub , bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang berkumpul dan tinggal bersama orang musyrik maka dia adalah semisal dengannya.” (HR. Abu Daud No. 2787)
Hijrah secara bahasa artinya At-Tarku
(meninggalkan). Secara syariat, hijrah adalah Al-Intiqal min baladil
Kufri ilaa baladil Islam, wa min dar asy-syirki ilaa dar at-tauhid, wa
min dar al-khauf ilaa dar al-amn (pindah dari negeri kufur menuju negeri
Islam, dan dari negeri syirik menuju negeri tauhid, dan dari negeri
yang tidak aman menuju negeri yang aman).
Para ulama berbeda pendapat, apakah
hijrah itu wajib atau sunah? Namun pendapat yang lebih kuat adalah
hijrah dari sebuah tempat di mana seorang muslim yang tidak dapat
menjalankan agamanya secara sempurna adalah wajib. Hal ini sesuai kaidah
:
ما لايتم الواجب إلا به فهوواجب
“Kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib”
Menjalankan agama adalah kewajiban,
tetapi kewajiban tidak bisa sempurna dalam menjalankannya kecuali dengan
hijrah dari daerah kufur tersebut, maka hijrah adalah wajib.
Hijrah ada dua model. Pertama, hijrah
makani (pindah wilayah) yaitu dari negeri kafir ke negeri tauhid. Bisa
juga pindah tempat dari daerah buruk, daerah maksiat dan kejahatan, yang
tidak kondusif bagi agama dan akhlak, menuju daerah yang shalih dan
aman buat agama. Kedua, hijrah ma’nawi (pindah secara nilai) yaitu
berubahnya seseorang yang tadinya kafir menjadi muslim, ahli maksiat
menjadi ahli taat, jahil (bodoh) menjadi ‘alim (berilmu) dan lain
sebagainya.
6. “Kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan Rasul-Nya”
Makna ‘kepada Allah’ adalah orang yang
hijrahnya karena Allah Ta’ala, untuk mencari balasan kebaikan dari-Nya,
untuk mendapatkan ridha-Nya, dan untuk membela syariat-Nya. Allah Ta’ala
berfirman, “…Dan jika kamu sekalian menghendaki Allah dan Rasulnya-Nya.”
(QS. Al Ahzab: 29). Imam Asy Syaukani mengatakan: “Yaitu
(menginginkan) surga dan kenikmatannya.” (Imam Asy Syaukani, Fathul
Qadir, 6/37)
Syaikh Ibnu Al-’Utsaimin mengatakan: “Yaitu menginginkan wajah-Nya dan menolong agama-Nya. Ini adalah keinginan yang baik.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Syarh Al Arba’in An Nawawiyah)
Makna ‘dan Rasul-Nya’ adalah orang yang
berhijrah untuk memperoleh keberuntungan bersahabat dengan Rasulullah ,
menjalankan sunahnya, membelanya, dan mengajak manusia kepadanya, serta
menyebarkan agamanya.
Makna ‘Maka hijrahnya itu adalah kepada
Allah dan RasulNya’ yaitu dia akan mendapatkan apa yang diniatkan itu,
yakni pahala dari Allah Ta’laa, ridha-Nya, kemenangan dunia dan akhirat,
sebagaimana yang dia niatkan sebelumnya.
Berkata Syaikh Ismail bin Muhammad Al-Anshari -rahimahullah-, “Kepada
Allah dan Rasul-Nya: Yaitu menjadikan maksud hijrahnya adalah demi
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya b. ‘Maka hijrahnya itu kepada Allah
dan Rasul-Nya: yaitu (mendapat) balasan dan pahala.” (At Tuhfah Ar Rabbaniyah Hal. 2)
7. ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه
“Dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia yang diinginkannya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka
hijrahnya itu kepada apa-apa yang ia inginkan itu.”
Makna ‘dan barang siapa yang hijrahnya
karena dunia yang diinginkannya’ yakni menginginkan kenikmatan kehidupan
dunia seperti kekayaan, pangkat, perniagaan, jabatan, perhiasan, dan
godaan dunia lainnya.
Secara bahasa dunia diambil dari kata
danaa yang artinya dekat (Al-Qarbu). Ini sekaligus menunjukkan
singkatnya kehidupan dunia. Dinamakan Ad Dun-ya karena lebih dahulu
dibanding akhirat, atau sangat dekat dengan zawal (tergelincirnya
waktu). Kehidupan ini adalah di atas bumi yang di dalamnya terdapat
udara dan angin dan apa pun yang ada sebelum datangnya kiamat.
Makna ‘atau wanita’ yakni Ummu Qais.
‘yang ingin dinikahinya’ yakni dikawininya dan dijadikannya isteri. Dan
pengkhususan wanita di sini, padahal wanita adalah bagian dari
kenikmatan dunia juga, merupakan keistimewaannya sekaligus ‘daya
goda’-nya yang seringkali lebih kuat terhadap laki-laki dibanding godaan
lainnya.
Makna ‘maka hijrahnya itu kepada apa-apa
yang ia inginkan itu’ yakni dia akan mendapatkan dunia yang
diinginkannya itu, tetapi dia tidak mendapatkan Allah dan Rasul-Nya,
tidak pula pahala dan tidak pula surga nanti di akherat.
Oleh karena itu Allah Ta’alla berfirman, “Barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala
dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan
(pula) kepadanya pahala akhirat itu, dan Kami akan memberi Balasan
kepada orang-orang yang bersyukur.” (QS. Ali Imran: 145)
…Wallahu A’lam, Bersambung …
Rujukan : Syarah Hadits Arba’in, Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Imam
Ibnu Daqiq Al-’Id, Maktabah Syamilah
0 comments:
Posting Komentar